Saya mempunyai paman dari pihak ayah dan pihak ibu. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Yang satu berpendidikan tinggi (Sarjana) dan yang satu lagi sama sekali tidak tamat sekolah dasar yang hanya menguasai baca tulis dan hitung. Keduanya sama-sama memiliki 6 anak dan usia anak-anak mereka hampir sama.
Karena latar belakang pendidikan yang berbeda jelas mereka memiliki perbedaan dalam hal mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya. Paman yang berpendidikan tinggi bekerja untuk pemerintah atau akrab disebut pegawai negeri sipil (PNS) mendapatkan gaji tetap yang aman dan pensiunan. Sedangkah paman yang tidak berpendidikan mendapatkan uang dari bisnis yang ia bangun dari nol selama bertahun-tahun.
Paman saya yang miskin membiayai sekolah anak-anaknya dari gaji tersebut, alhasil ia sering mendapat masalah finansial yang serius di sepanjang jalan membiayai anaknya. Ia selalu mendorong anak-anaknya untuk sekolah, mendapat nilai tinggi dan mencari pekerjaan pada perusahaan swasta yang bergaji tinggi tinggi pula. Ia melarang anak-anaknya untuk menjadi pegawai negeri dengan alasan yang tidak pernah ia utarakan secara mendetil. Sedang ayah saya yang tidak berpendidikan tidak memiliki masalah sama sekali dalam menyekolahkan anak-anaknya karena bisnisnya menghasilkan banyak uang dan memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Bahkan ia mampu membeli barang-barang elektronik dan sering gonta ganti kendaraannya.
Paman saya yang miskin bekerja bertahun-tahun pada pemerintah dengan mengandalkan gaji tetap untuk membiayai keluarganya. Ia sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya sehingga sering kali berhutang atau meminjam uang pada seseorang untuk menutupi kekurangan biaya sekolah anak-anaknya. Dia memandang pendidikan anak adalah investasi masa depan yang kelak akan menjadi penyelamat akan masalah keuangan keluarganya. Dan memang ia berhasil menyekolahkan hampir semua anaknya dan sekarang sudah memiliki pekerjaan yang ia impikan sebelumnya.
Sedangkan paman saya yang kaya bertahun-tahun mengurus bisnisnya hingga sangat maju dan menghasilkan banyak uang untuk keluarganya. Namun sayang perhatiannya kepada anak-anaknya teralihkan karena kesibukannya mengurus bisnisnya. Alhasil, tidak seorangpun dari anaknya yang berhasil meraih gelar sarjana. Anak-anaknya cenderung bermental menghabiskan uang ayahnya dan tidak belajar bagaimana mendapatkan uang. Akhirnya mereka semua mengikuti langkah ayahnya atau lebih tepat mengekor ayahnya.
Paman saya yang kaya telah mencoba mengarahkan anak-anak lelakinya untuk terjun membantu perusahaanya dengan maksud supaya bisa seperti dirinya. Sayang, ia terlambat mendidik anaknya utnuk menjadi seorang wiarausaha seperti dirinya. Mereka sudah dewasa dan bahkan sudah memiliki anak dan istri. Bias anda tebak mereka tidak mandiri secara finansial. mendidik bisnis anak yang rata-rata sudah menginjak usia dewasa akan jauh lebih sulit ketmbang dididik sejak dini. Karena kebiasaan sejak kecil dalam menghabiskan uang (boros) dan apa yang mereka inginkan telah tersedia sehingga mereka lupa belajar akan kesabaran dan pikirannya tertutup. Alhasil, anak-anaknya cenderung bermental menghabiskan uang ketimbang menghasilkan uang.
Setelah usia mereka menginjak umur 60an, paman saya yang kaya jatuh miskin dan hingga saat ini ia harus tetap mengurusi bisnisnya karena tak seorang pun dari anaknya yang mampu menggantikannya. Perusahaannya jatuh terlilit utang yang besar pada bank dan hasil bisnisnya tidak mampu menutupi tagihannya kecuali hanya bunganya saja. Sedangkan paman saya yang miskin tetap miskin dengan mengandalkan uang pensiunannya dan hidup jauh dari anak-anaknya yang sudah sukses ia sekolahkan Karena perceraian.
Sebenarnya, keduanya memiliki kecerdasan yang berbeda dan unggul di bidang masing-masing. Keduanya orang terpandang di masyarakatnya. Yang satu terpandang karena kepintarannya dan yang satu terpandang karena banyak uang. Sayangnya keduanya tidak memiliki kecerdasan finansial yang cukup, paman saya yang berpendidikan memandang pendidikan adalah segalanya namun tidak mengetahui bahwa mengurus bisnis sendiri jauh lebih penting ketimbang harus bekerja untuk orang lain dengan penghasilan terbatas. Sedang paman saya yang tidak berpendidikan namun kaya telah mengetahui pentingnya memiliki bisnis sendiri dan menhasilkan banyak uang.
Tapi sayang ia tidak mengetahui perbedaan asset dan liabilities (silahkan and abaca buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki), semasa jayanya ia sering menghabiskan uangnya untuk membangun rumah yang besar, motor, mobil baru, barang elektronik yang mahal dan memberikan apapun yang diminta anak-anaknya sebagai tanda sayangnya pada mereka. Ia menganggap bahwa semua ia belanjakannya adalah asset, padahal semua yang ia beli adalah liabilities yang akan menghisapnya uangnya sampai habis.
Dari kedua paman saya itu saya dapat belajar banyak tentang arti penting pendidikan finansial dan harus selalu melek finansial. Ingat, kita hanya bias melihat uang dengan pikiran kita bukan dengan mata kita. Hilangkan kebiasaan membeli banyak barang-barang yang tidak penting karena ingatlah mobil yang baru anda beli akan berkurang harganya 20% setelah melawati pintu dealernya. Handphone yang baru anda beli akan menyusut harganya setelah anda lepas segelnya. Merencanakan masa depan finansial kita adalah suatu keniscayaan. Sedangkan mengabaikannya adalah bencana jangka panjang yang mungkin saat ini kita tidak bisa melihatnya tapi akan terasa ketika saatnya nanti. Seperti paman saya yang kaya dan paman saya yang miskin.
1 comments:
Dengan alasan apapun, kita ga boleh menyerah hanya karena jatuh miskin.
Banyak jalan menuju roma untuk menstabilkan kembali keuangan kita, seperti yang ada pada artikel dibawah ini nih.
cara stabilkan keuangan
Post a Comment
Silahkan tulis komentar sebagai umpan balik dari artikel ini. Tidak diperkenankan untuk komentar yang berunsur spamming, porno, dll.