Koordinator Peneliti Program Pendidikan Karakter Maarif Institute Ahmad Gaus mengatakan, terjadi kontradiksi dalam kampanye pendidikan karakter di dunia pendidikan dengan realita yang terjadi di lapangan. Kontradiksi inilah yang menurutnya membuat pendidikan karakter sulit untuk tercapai.
Selain itu, pemerintah juga dinilainya tidak memiliki karakter politik yang jelas, baik dalam haluan politiknya, maupun dalam kepribadian para tokoh-tokohnya. Ia menambahkan, berbicara tentang karakter kebangsaan, pemerintah harus mengambil contoh dari para pendiri republik ini. Ia menyebutkan, para tokoh yang dinilainya mempunyai integritas, kesahajaan dan karakter tinggi seperti Bung Hatta, Bung Karno dan Haji Agus Salim.
"Ketika ada orang bertanya, kenapa Haji Agus Salim selalu naik kereta ekonomi kelas tiga saat hendak bepergian, ia selalu menjawab karena tidak ada kereta ekonomi kelas empat. Adakah pemimpin sekarang yang seperti itu?," kata Gaus, Senin (15/8/2011), di Jakarta.
Lebih jauh ia bercerita, Bung Hatta, menurutnya adalah seorang yang sangat suka dengan sepatu dengan merek terkenal yang pada saat itu harganya mahal sekali. Ia melanjutkan, ketika melihat iklan sepatu tersebut di surat kabar, Bung Hatta sengaja mengguntingnya dan ditempelkan di meja kerjanya untuk dilihat setiap hari.
"Sampai ia meninggal, Bung Hatta tetap tidak bisa membeli sepatu itu. Kesahajaannya, kesederhanaannya, kesetiaanya itu betul-betul diwujudkan dalam sikap keseharian. Pemimpin sekarang hanya berbicara saja," ungkapnya.
Jika ditelisik, Indonesia jelas punya karakter yang kuat, setidaknya pada awal berdirinya Republik Indonesia. Bahkan, karakter itu meresap dan menjadi bagian dalam kepribadian dari para tokoh-tokoh tersebut, dan karena itulah mereka menjadi tokoh.
Saat ini, Gaus menilai, Indonesia dunia politik Indonesia kekurangan sosok negarawan. Jika dahulu para pendiri bangsa yang diteladani oleh para tokoh seperti Buya Syafi'i Maarif, Cak Nur dan Gusdur memikirkan kelangsungan bangsa untuk ratusan tahun ke depan. Saat ini, sambungnya, para politikus hanya berpikir dengan politik lima tahun.
"Itu namanya hedonisme politik, hanya itu dan pendek sekali. Mereka tidak pernah membaca buku-buku filsafat, mestinya mereka belajar betapa mulianya politik," tandasnya.
Melihat keadaan itu, meskipun kecil, tapi Gaus lebih memilih untuk terus melakukan apa saja dalam menanamkan pendidikan karakter. Hal itu sejalan dengan pepatah yang dikutipnya, "Daripada kita menutupi kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin".
"Jadi, apapun yang bisa kita lakukan, ya lakukan saja. Sambil terus berpikir positif," tuturnya.
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2011/08/16/08220916/.Nyalakan.Lilin.daripada.Menutupi.Kegelapan
0 comments:
Post a Comment
Silahkan tulis komentar sebagai umpan balik dari artikel ini. Tidak diperkenankan untuk komentar yang berunsur spamming, porno, dll.